KomunitasSosial

Hari Bumi 2025: WALHI Jabar Warning ‘Kiamat Ekologis’ di Tatar Pasundan

Jawa Barat – Dalam momentum Hari Bumi 2025, Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Jawa Barat memperingatkan ancaman “kiamat ekologis” yang membayangi ruang hidup warga akibat pembangunan masif yang abai pada daya dukung lingkungan.

“Rakyat dan alam di Jawa Barat sedang menghadapi kondisi kritis. Pembangunan yang digenjot demi investasi justru menjadi bumerang karena mengabaikan keberlanjutan lingkungan,” kata Direktur Eksekutif WALHI Jawa Barat, Wahyudin Iwang kepada Tahu Ekspres, Selasa (22/4/2025).

Salah satu sorotan tajam WALHI adalah kawasan Puncak Bogor-Cianjur. Kasus Hibisch Fantasy menjadi contoh bagaimana peruntukan lahan diubah demi pariwisata, hingga memicu pembongkaran bangunan oleh pemerintah. Meski begitu, Wahyudin menilai tindakan itu belum menyentuh akar persoalan.

“Realisasi investasi di Jawa Barat sepanjang 2024 sangat tinggi, mencapai Rp251,1 triliun di kuartal I dan Rp63,7 triliun di kuartal II. Namun, di balik gemerlap angka itu, kerusakan lingkungan semakin menganga,” tambahnya.

“Banyak bangunan lain di kawasan Puncak yang tak sesuai tata ruang tetap dibiarkan. Ini hanya bersih-bersih politis, bukan penyelamatan lingkungan,” tegasnya.

Baca Juga :  Wagub Jabar Kendarai Motor di Hari Pertama Ngantor ke Gedung Sate

Kawasan Bandung Utara juga tak luput dari sorotan. Menurut data WALHI, terdapat sekitar 3.000 bangunan komersial di KBU, dengan 30% di antaranya bermasalah.

“Dampaknya jelas, seperti banjir di wilayah bawah karena daerah resapan air rusak. Sayangnya, audit lingkungan seperti hanya formalitas,” ujar Wahyudin.

Ia juga menyinggung pengelolaan hutan oleh Perhutani yang dinilai tidak partisipatif dan justru memfasilitasi alih fungsi kawasan hutan untuk kepentingan bisnis.

“Tinggal 21% luas kawasan hutan tersisa di Jawa Barat. Tak heran bencana hidrometeorologi makin sering terjadi,” jelasnya.

WALHI juga menyebutkan bahwa, PTPN sebagai ‘sarang mafia tanah’ karena kerap memicu konflik agraria, seperti yang terjadi di Sumedang dan Bogor. Selain itu, penurunan status kawasan konservasi dan cagar alam di bawah BKSDA dinilai memperparah degradasi lingkungan.

“Wilayah karst seperti Klapanunggal rusak parah. Padahal karst adalah sistem penyedia air bagi DAS. Kalau ini dibiarkan, dampaknya akan sangat besar ke masyarakat,” lanjutnya.

Baca Juga :  “Tanah Terlantar, Rakyat Berkeringat", WALHI Jabar Tagih Janji Reforma Agraria Pemerintah

Lemahnya partisipasi publik, lanjut Wahyudin, dalam pengambilan keputusan pembangunan pasca disahkannya UU Cipta Kerja.

“Demokrasi seperti seremonial. Aspirasi warga sering tak dianggap penting,” ucapnya.

Ia juga mengkritisi Gubernur Jabar Dedi Mulyadi yang menggandeng TNI AD dalam kerja sama pembangunan. Menurutnya, pendekatan militeristik dalam pembangunan justru mempersempit ruang demokrasi dan bisa memicu konflik.

“Label PSN seolah jadi tameng agar proyek tak bisa diganggu, padahal proyek itu berdampak buruk bagi lingkungan dan warga sekitar,” ucapnya.

Wahyudin menyebut kasus seperti PLTU di Indramayu, Cirebon, dan Pelabuhan Ratu adalah contoh nyata proyek yang menyumbang emisi besar dan memperparah perubahan iklim. Belum lagi soal pengelolaan sampah yang dinilai pragmatis dan tak menyentuh akar masalah, seperti kasus TPA Sarimukti yang terbakar tahun lalu.

“Persoalan tambang ilegal pun baru ditindak setelah viral di media sosial. Ini membuktikan pemerintah lalai selama ini,” tegas Wahyudin.

Ia menilai, penyusunan tata ruang dan KLHS di Jawa Barat lemah dan sering mengabaikan wilayah rawan bencana.

Baca Juga :  Hari Jadi ke-384, Wagub Jabar: Mari Wujudkan Kabupaten Bandung Lebih Maju, Makmur dan 'Bedas'

“Pemerintah tetap mengizinkan eksploitasi di wilayah-wilayah kritis. Ini bukan hanya kelalaian, tapi pengabaian terhadap keselamatan rakyat,” tambah Wahyudin.

Ia juga menyoroti pentingnya kejelasan status kasus di Puncak Bogor dan Sukawana, di mana perusahaan-perusahaan telah disegel oleh Dedi Mulyadi karena membuka dan mengubah fungsi kawasan secara ilegal. Menurutnya, hal ini melanggar perda tata ruang dan perda KBU. Karena itu, gubernur seharusnya mengambil sikap tegas dengan menutup permanen perusahaan-perusahaan perusak lingkungan.

“Jika EIGER ditutup, hal ini akan menjadi catatan penting dalam pemerintahan Dedi Mulyadi. Walhi yakin, langkah tegas ini akan mencegah izin-izin baru dan memungkinkan penertiban perusahaan lain seperti Astro, D’Castelo, dan Dago Resort.” tegas Wahyudin.

Wahyudin menutup pernyataannya dengan seruan agar masyarakat lebih aktif mengawasi dan terlibat dalam pengambilan keputusan.

“Pemimpin berani tidak menjamin lingkungan bersih? demokrasi yang sehat harus menjamin partisipasi masyarakat. Kita harus jaga Tatar Pasundan bersama-sama,” pungkasnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses

Back to top button