Pajak Mencekik, Rakyat Menjerit
Oleh : Rianny Puspitasari (Pendidik)
Menjelang akhir tahun 2024 rakyat Indonesia digemparkan dengan gonjang-ganjing kenaikan PPN (Pajak Pertambahan Nilai) yang sebelumnya 11% akan naik menjadi 12%, ini berlaku mulai awal tahun baru 2025. Pro-kontra terjadi di kalangan berbagai pihak, penolakan terjadi dimana-mana. Bahkan petisi yang menolak kenaikan PPN yang ditandatangani lebih dari 113.000 orang telah diserahkan pada Sekretariat Negara (Setneg) pada aksi damai di depan Istana Negara. Peserta aksi ini berasal dari berbagai kalangan mulai dari akademisi, mahasiswa hingga kelompok pecinta budaya Korea (K-Popers) dan Jepang (Wibu). (beritasatu.com, 20/12/24)
Namun berikutnya, pada tanggal 31 Desember 2024, Presiden Prabowo menyampaikan keterangan pers bahwa pemerintah memutuskan kenaikan tarif PPN dari 11% menjadi 12 % mulai 1 Januari 2025 hanya berlaku bagi barang dan jasa mewah. Sedangkan barang dan jasa lainnya tidak ada kenaikan. Adapun barang mewah yang terkena PPN 12% adalah yang diatur dalam PMK Nomor 15 tahun 2023, yaitu:
• Kelompok hunian mewah
• Kelompok balon udara dan balon udara yang dapat dikemudikan
• Kelompok peluru senjata api
• Kelompok pesawat udara selain yang dikenakan tarif 40%
• Kelompok senjata api dan senjata api lainnya
• Kelompok kapal pesiar mewah
• Kendaraan bermotor yang kena PPnBM
Selain itu, PPN 12% juga diklaim berlaku untuk uang elektronik dan dompet digital. (bbc.com, 19/12/24 diperbarui 31/12/24)
Perubahan keputusan pemerintah yang semula akan menerapkan kenaikan PPN untuk seluruh barang dan jasa yang selama ini dikenai tarif 11% menjadi terbatas pada barang mewah saja memang membuat rakyat sedikit lega. Namun sesungguhnya, jika kita cermati lebih dalam, implikasi dari kebijakan tersebut tetap saja akan berdampak pada masyarakat menengah ke bawah.
Sederhananya, kalangan menengah yang biasa mengkonsumsi produk premium tentu akan turun pada produk non-premium karena harganya naik. Dengan semakin banyaknya konsumen produk premium, hal ini akan membuat permintaan bertambah dan menaikkan harga produk non-premium tersebut. Kalangan masyarakat bawah akhirnya juga terkena imbasnya dengan kenaikan harga produk yang biasa mereka konsumsi. Dengan demikian tetap saja hal ini akan memberatkan seluruh rakyat dari semua kalangan.
Meski kompensasi kenaikan PPN ini adalah adanya program bansos dan subsidi PLN, penderitaan rakyat tak terelakkan. Ini adalah contoh kebijakan penguasa yang populis otoriter. Pemerintah merasa cukup dengan memberikan bansos, subsidi Listrik, dan menetapkan barang-barang tertentu yang terkena PPN, padahal kebijakan tersebut tetap membawa kesengsaraan pada rakyat.
Wajah Asli Kapitalisme, Rusak dan Merusak
Ini adalah wajah asli sistem kapitalisme, dimana pemerintah dan kebijakannya tidak pro rakyat—meski klaimnya berpihak pada rakyat. Kenyataannya, pemerintah lebih mementingkan keuntungan materi dibandingkan memberi kemudahan untuk hidup masyarakat. Bahkan, tidak jarang juga peraturan yang dibuat malah menguntungkan kalangan atas. Misalnya kebijakan pemerintah yang justru memberikan insentif bagi barang seperti mobil listrik atau hybrid, padahal yang menikmati ini adalah masyarakat kelas atas, bukan menengah ke bawah. Hal ini diperkuat dengan pernyataan Sekretaris Umum Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (GAIKINDO), Kukuh Kumara, bahwa konsumen mobil listrik didominasi masyarakat kelas atas.
Semakin jelas bahwa sistem hidup yang rusak ini melahirkan Undang-undang dan kebijakan yang merusak. Peraturan yang dibuat tidak mengenal prinsip halal-haram, bahkan menilai jika agama turut campur mengatur kehidupan akan mencederai prinsip kebebasan. Pada praktiknya, demokrasi sebagai turunan dari sistem ini, justru membuahkan tirani minoritas yang dilegalisasi UU. Sementara sistem kepemimpinannya jauh dari fungsi pelayanan, melainkan cenderung bersifat populis otoritarian.
Sistem Islam, Sempurna dan Menyeluruh
Berbeda dengan sistem Islam, kepemimpinan didalamnya begitu istimewa. Relasi hubungan antara penguasa dan rakyat menggunakan prinsip pengurusan dan pelayanan urusan umat. Pemerintah tidak mengambil keuntungan dari rakyat atau memberikan perlakuan berbeda antara kalangan atas dan menengah ke bawah. Penguasa selalu berupaya melingkupi kehidupan politik dengan nasihat takwa, dan senantiasa menjadikan syariat Islam sebagai satu-satunya sumber aturan dan kebijakannya.
Adalah sistem kepemimpinan yang disebut Khilafah yang menjadikan posisi penguasa sebagai raa’in (pengurus) dan junnah (perisai/pelindung) bagi seluruh rakyatnya. Ini merupakan negara Islam warisan Rasulullah saw. yang diamanahi untuk menerapkan syariat Islam dalam seluruh aspek kehidupan.
“Sesungguhnya al imam itu (laksana) perisai, dimana (orang-orang) akan berperang di belakangnya (mendukung) dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan)nya. Jika seorang imam memerintahkan supaya takwa kepada Allah azza wajalla dan berlaku adil, maka dia mendapat pahala karenanya, dan jika dia memerintahkan selain itu, maka ia akan mendapat siksa” (HR. Al Bukhari, Muslim, An-Nasa’I, Abu Dawud, Ahmad)
Syariat Islam kafah yang diterapkan penguasa mampu memberi tuntunan dan memberikan solusi untuk seluruh problem kehidupan bermasyarakat dan bernegara berdasarkan dorongan keimanan dan takwa.
Sistem politiknya mampu membuatnya menjadi negara kuat yang disegani oleh negara-negara lainnya, bahkan ditakuti para musuhnya. Sistem ekonominya, mampu menyejahterakan hingga individu per individu dengan pengelolaan sumber daya milik umat yang adil sesuai syariat. Maka, pungutan berbagai rupa pajak tidak akan terjadi di dalam sistem Islam, karena penguasa takut kepada Allah dan meyakini bahwa yang berani memalak rakyat tidak akan bisa mencium bau surga.
Begitu pun dengan penerapan sistem-sistem lainnya, seperti sistem pendidikan, hukum, pergaulan, kesehatan, pertahanan dan keamanan akan melahirkan peradaban yang tinggi. Negara akan mampu menjamin terjaganya jiwa, akal, harta, kehormatan, agama dan negara. Betapa mulia hidup di bawah naungan aturan Islam, kebahagiaan dunia dan akhirat pun bukan sesuatu yang utopis, hal ini telah terbukti saat penerapannya yang bertahan selama 1300 tahun.
Wallahu ‘alam bisshawwab.