23 Tahun Menanti Janji Pemerintah soal Sertifikat Tanah, Warga Transmigrasi Cimarga Kini Hadapi Jalan ‘Butut’

Sumedang – Warga transmigrasi di Dusun Sempurmayung dan Margamukti, Desa Cimarga, Kecamatan Cisitu, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat, masih menanti kepastian sertifikat tanah yang dijanjikan pemerintah sejak 23 tahun lalu. Mereka juga harus bertahan dengan kondisi akses jalan yang rusak parah dan belum pernah diperbaiki sejak 2010.
“Dulu dijanjikan setelah tiga tahun tinggal, sertifikat tanah akan diberikan. Tapi sampai sekarang belum ada kejelasan,” kata Bah Jaun, perwakilan warga Dusun Sempurmayung, melalui keterangan tertulis yang diterima Tahu Ekspres, Selasa, 15 April 2025.
Sebanyak 77 kepala keluarga—terdiri dari 55 KK di Dusun Sempurmayung dan 22 KK di Dusun Margamukti—menempati lahan hasil program transmigrasi sejak tahun 2001. Setiap kepala keluarga menempati dua bidang tanah, yaitu pekarangan seluas 300 meter persegi dan lahan garapan seluas 3.000 meter persegi. Total terdapat 154 bidang tanah yang hingga kini belum bersertifikat.
Warga berasal dari berbagai wilayah, mulai dari Sampit di Kabupaten Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah, hingga Kecamatan Wado, Tanjungkerta, dan Tanjungsari di Kabupaten Sumedang. Mereka direlokasi melalui program transmigrasi dan dijanjikan sejumlah fasilitas, termasuk sertifikat hak milik atas tanah yang mereka tempati.
Menurut Bah Jaun, tanah yang mereka tinggali merupakan tanah kas desa. Pemerintah sebelumnya berjanji akan melakukan tukar guling: warga menempati tanah desa, sementara pemerintah mengganti tanah kas desa dengan membeli lahan dari warga lain. “Tapi janji itu sampai sekarang tidak ditepati,” ujar Bah Jaun.
Kepala Desa Cimarga, Opan Sopandi, membenarkan keluhan tersebut. Ia mengatakan, sertifikasi lahan transmigran masih terkendala karena belum ada tindak lanjut dari pemerintah daerah maupun pusat. “Dulu janji dari Dinas Transmigrasi provinsi dan kabupaten. Tapi sampai sekarang mandek,” kata Opan.
Warga juga mengeluhkan kondisi jalan sepanjang 7 kilometer dari jalan utama menuju dusun mereka yang rusak hampir di seluruh jalur. Kerusakan telah berlangsung sekitar 15 tahun lalu. “Jalan itu terakhir diperbaiki oleh pemerintah tahun 2010 lalu. Namun sekarang kondisinya sangat memprihatinkan, dan perbaikannya pun hanya dilakukan secara swadaya oleh masyarakat,” ujar Opan.
Opan menyebut, pihak desa telah berkali-kali mengusulkan perbaikan jalan kepada pemerintah kabupaten, namun belum mendapat respons. “Kami berharap ini bisa menjadi perhatian, karena menyangkut akses utama warga,” katanya.
Warga transmigran kini mayoritas bekerja sebagai petani dan berladang. Pada awal kedatangan mereka, pemerintah memberikan bibit tanaman seperti kopi dan cengkeh untuk berkebun. Pemerintah juga sempat menyalurkan bantuan berupa bibit domba, ayam, serta pelatihan pertanian dan peternakan.
“Warga kami hanya ingin kepastian hak atas tanah mereka dan jalan yang layak. Itu saja,” tutur Opan.
Warga berharap pemerintah segera turun tangan dan menunaikan janji yang telah tertunda hampir seperempat abad ini.