Seorang psikolog asal Sumedang, Ayuna Haziza, menyoroti kasus suami yang tega membacok istrinya lantaran tidak mau bercerai dengan istrinya. Kemudian setelah melakukan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) tersebut, sang suami melakukan percobaan bunuh diri.
Menurutnya hal tersebut bukanlah tanda cinta, melainkan ketidakmampuannya untuk menyelesaikan permasalahan dan karena ketidakstabilan emosinya.
“Kalau menurut saya cinta itu tidak ada yang menyakiti, kalau menyakiti terus cemburu buta, sampai akhirnya melukai pasangan, itu bukan cinta, itu emosi yang bicara,” katanya kepada Tahu Ekspres melalui pesan WhatsApp, Senin (5/2).
Ia menjelaskan, kalau seorang suami tidak mau bercerai mungkin dia punya banyak pertimbangan. Pertama, ketika istrinya minta cerai, mungkin suami berpikir tentang harga dirinya. Mungkin ketika bercerai dia akan malu pada lingkungan sosialnya, kemudian ketika istrinya minta cerai, dia berpikir bahwa dia adalah suami yang gagal dan itu juga yang membuatnya mempertahankan rumah tangganya.
“Atau alasan dia tidak mau bercerai, karena sebenarnya dia butuh sama istrinya, dia (katanya) cinta. Tp pada akhirnya semua terjadi lebih karena suami (pelaku) tidak dapat menyelesaikan permasalahan, problem solvingnya itu tidak jalan, kemampuan berpikirnya tidak jalan, emosi yang ia kedepankan, hingga pada akhirnya dia menyakiti supaya istrinya ini tidak berpisah sama dia atau tidak bercerai,” ujarnya.
Kemungkinan lain, katanya, mungkin dia berpikir kalau istrinya minta cerai, sang istri bisa bebas. Misalnya kalau ada hutang bisa terbebas dari hutang atau kecurigaan bahwa si istri ini minta cerai karena ada laki-laki lain misalnya, itu yang pada akhirnya membuat pelaku emosi dan akhirnya tidak mau dicerai.
“Jadi menurut saya bukan cinta, jadi dia gak mau cerai itu sebenernya alasannya bukan karena dia cinta sama istrinya. Karena kalau cinta itu gak ada yang kayak gitu, cinta itu gak menyakiti, cinta itu baik, positif, gak menyakiti dan tidak mengekang seseorang seperti itu,” katanya.
Ayuna menduga, pelaku menyakiti mungkin karena dia tidak bisa berpikir dengan baik. Kemampuan pemecahan masalahnya tidak jalan sehingga emosinya yang jalan. Jalan satu-satunya adalah marah dan pada akhirnya menyakiti.
“Kalaupun pada akhirnya setelah dia menyakiti istrinya, kemudian mungkin pada saat melakukan itu dia tersadar, lalu dia melihat istrinya sudah berlumuran darah ada sedikit penyesalan, ada sedikit ketakutan, sehingga pada akhirnya dia melukai dirinya sendiri.
Ya udahlah mending aku mati aja gitu, karena dia juga tidak bisa menghadapi kenyataan kalau misal istrinya meninggal di tangan dia kan jadi lebih parah. Maksudnya, akibatnya juga untuk dia juga gak bagus jadi tidak bisa berpikir jernih hingga pada akhirnya emosi yang timbul, dia melukai dirinya sendiri. Pada akhirnya kamu mati ya sudah saya mati. Jangan sampai kamu dimiliki orang lain gitu misalnya,” terang Ayuna.
Alasan lain suami melakukan percobaan bunuh diri, lanjut Ayuna, karena dia tidak sanggup untuk menanggung akibatnya setelah melukai istrinya hingga pada akhirnya jalan pintasnya adalah dia membunuh dirinya sendiri. Selain untuk membebaskan diri dari masalah-masalah yang mungkin selama ini dia hadapi dan tidak bisa dia selesaikan.
Ia juga menduga, seseorang tega menyakiti pasangannya mungkin saja sebelumnya pelaku memang memiliki gangguan psikologis tertentu. Misalnya dia mengalami depresi, ada gangguan Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) atau gangguan stres pascatrauma, yang salah satunya ditandai dengan kegagalan untuk pulih setelah mengalami atau menyaksikan peristiwa yang mengerikan, seperti ada trauma di masa lalu.
Selain itu juga mungkin pelaku mengalami Borderline Personality Disorder (BPD) atau gangguan kepribadian ambang yang artinya gangguan mental yang ditandai dengan suasana hati, perilaku, dan hubungan yang tak stabil.
“Jadi memang ego nya tinggi dan emosi itu jauh lebih dikedepankan daripada proses berpikir,” terang Ayuna.
Ia berharap, jangan sampai peristiwa mengerikan tersebut menjadi fenomena baru yang ada di Kabupaten Sumedang.
“Jadi kalau saya perhatikan memang sebetulnya KDRT ini sudah ada dari dulu ya. Cuman tidak separah ini. KDRT itu sudah ada dari dulu, tapi tidak terupdate di media sosial.
Karena mungkin banyak para korban dalam hal ini istri yang tidak melapor itu banyak banget ya. Saya sendiri banyak sekali menangani atau mendapati kasus-kasus klien/istri yang merupakan korban dari KDRT tapi tidak mau melapor gitu. Dan mereka pada akhirnya bingung mereka harus seperti apa gitu kan,” sambung Ayuna.
Artinya, lanjut Ayuna, sebenarnya kasus KDRT ini cukup banyak terjadi di Kabupaten Sumedang. Akan tetapi menurutnya, mungkin karena tidak sampai terjadi peristiwa berdarah jadi tidak terupdate dimedia sosial.