IJTI Sumedang Gelar Diskusi RKUHAP, Pakar Hukum UNPAD Soroti Peran Kejaksaan

Sumedang – Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Sumedang menggelar diskusi mengenai Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP). Para pakar hukum menyoroti sejumlah ketentuan dalam RKUHAP, terutama terkait peran kejaksaan yang dinilai lebih dominan dibandingkan kepolisian.
Diskusi bertajuk “Aspek Krusial dalam RKUHAP: Perubahan, Dampak, dan Implementasi” ini berlangsung pada Kamis (6/3/2025) di Sapphire Park City Sumedang dan menghadirkan akademisi dari berbagai universitas. Di antaranya Asoc. Prof. Dr. Andika Dutha Bachari, S.Pd., S.H., M.Hum., CCD, Pakar Linguistik Hukum dari Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), serta Dr. Somawijaya, S.H., M.H., Pakar Hukum Pidana dari Universitas Padjadjaran (UNPAD).
Dalam pemaparannya, Andika menegaskan bahwa masyarakat harus mengawal RKUHAP agar tidak menciptakan sistem peradilan yang hanya menguntungkan satu pihak.
“Kita harus menolak segala bentuk agenda yang ingin menjadikan salah satu lembaga penegak hukum sebagai faktor penentu di peradilan,” ujar Andika di hadapan mahasiswa dan jurnalis yang hadir dalam diskusi.
Ia juga menilai bahwa beberapa gagasan dalam RKUHAP menunjukkan adanya police phobia, karena cenderung melemahkan peran kepolisian dalam penyidikan dan penyelidikan.
“Kalau ada wacana yang ingin menempatkan fungsi penyidikan dan penyelidikan di bawah kejaksaan, bagi saya itu adalah bentuk police phobia,” tegasnya.
Menurut Andika, jika memang ada persoalan dalam proses penyidikan, maka yang harus dilakukan adalah memperbaikinya, bukan justru mengurangi kewenangan penyidik.
“Kalau penyidikan saat ini masih menyisakan masalah, solusinya bukan mengerdilkan peran penyidik, tapi memperbaiki sistemnya,” ucapnya.
Selain itu, ia juga memperingatkan bahwa dominasi satu lembaga penegak hukum dalam sistem peradilan bisa berdampak pada terganggunya demokrasi di Indonesia.
“Kalau ada salah satu subsistem dalam peradilan yang dibuat lebih dominan, itu akan mengancam keseimbangan sistem hukum kita dan juga bisa merusak demokrasi,” ungkapnya.
Sementara itu, Dr. Somawijaya menilai bahwa RKUHAP harus dikawal ketat oleh berbagai elemen masyarakat, karena ada beberapa aturan yang membatasi kewenangan Aparat Penegak Hukum (APH).
“RKUHAP ini memang membawa kemajuan dalam perlindungan hak asasi manusia, tapi ada beberapa kewenangan dari kepolisian, kejaksaan, dan hakim yang perlu diperhatikan,” kata Somawijaya.
Ia menambahkan bahwa rancangan ini harus diimbangi dengan sistem pengawasan yang ketat agar tidak terjadi penyalahgunaan wewenang.
“Pengawasan adalah kata kuncinya. Jangan sampai ada kewenangan yang tidak dikontrol dengan baik,” pungkasnya.
Sebagai informasi, salah satu pasal dalam RKUHAP yang menjadi sorotan adalah Pasal 12 Ayat 11. Pasal ini mengatur bahwa jika penyidik tidak melaksanakan tugasnya dalam waktu 14 hari setelah diminta oleh jaksa, maka kejaksaan dapat mengambil alih pemeriksaan dan penuntutan perkara tersebut. Ketentuan ini dinilai bisa melemahkan peran kepolisian dalam sistem peradilan pidana.