Pemilu 2024 dan Wacana Sistem Proporsional Tertutup yang Mengeruak
Oleh : Dadang Jaenudin (Komisioner Panwaslu Kec. Jatinangor Kab. Sumedang)
Pemilihan Umum (Pemilu) legislatif yang akan diselenggarakan pada tanggal 14 Februari 2024 tinggal menghitung bulan dan tahapan pemilu sudah masuk pada tahapan cukup krusial, dimana pada bulan ini (Januari 2023) sedang pada tahap penetapan jumlah kursi dan penetapan daerah pemilihan (dapil), namun sebagaimana yang sudah terjadi menjelang pemilu, baik itu pada pemilu tahun 2004, 2009, 2014, dan terakhir tahun 2019. Isu dan wacana sistem proporsional tertutup terjadi kembali perdebatan dan mengeruak ke permukaan publik.
Perlu diketahui bahwa salah satu sistem dalam pemilihan umum yaitu penggunaan sistem proporsional. Sistem proporsional adalah sistem di mana satu daerah pemilihan memilih beberapa wakil untuk duduk di kursi parlemen. Ada dua metode yaitu proporsional terbuka (openlist proportional reprecentation) dan proporsional tertutup (closed list proportional reprecentation). Salah satu ciri khas proporsional terbuka yaitu pada saat pemilihan, suara terbanyak partai otomatis akan menjadikan calon anggota legislatif dengan nomor urut tertinggi yang akan lolos, sedangkan proporsional tertutup calon anggota dengan suara terbanyak yang akan lolos ke parlemen.
Dari satu perbedaan itu saja akan menjadi diskusi sangat panjang, karena asumsi dan opini publik akan sangat berbeda, karena masing-masing sistem yang digunakan akan mucul kelebihan dan kekurangan, apalagi dikaitkan dengan satu isue yang cukup ramai misalkan variabel hubungan sistem proporsional dengan money politic.
Sistem proporsional tertutup yang pernah diterapkan dalam sejarah penyelenggaraan pemilu di Indonesia antara lain pada pemilu tahun 1955, Pemilu selama masa orde baru dan terakhir pada pemilu tahun 1999. Ini menjadi sejarah yang sangat penting dan layak menjadi kajian yang memiliki referensi yang jelas dan terukur, kita mampu mempelajari baik dan buruknya sistem ini atau kelebihan dan kekurangannya. Sehingga mampu menemukan formulasi yang tepat dalam penerapan serta evaluasi dalam perumusan kembali sistem pemilu di Indonesia.
Saat ini di Indonesia menggunakan sistem proporsional terbuka sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, khususnya Pasal 168 Ayat (2). Yang berisi “Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka,” dan pasal ini lah yang baru-baru ini digugat oleh beberapa warga negara ke Mahkamah Konstitusi (MK), karena dinilai inkonstitusional sehingga perlu adanya perubahan dari sistem proporsional terbuka ke proporsional tertutup. Ditambah oleh stetmen terbuka elit politik yang mendukung adanya perubahan serupa dan elit politik lain yang tegas menentang, sehingga wacana terbuka vs tertutup kini kembali mengeruak.
Memang tidak dipungkiri banyak pandangan bahwa proporsional terbuka yang berlaku saat ini memiliki kekurangan dan cukup berdasar, karena dinilai membuka celah ‘perang money politic’, siapa yang kuat cost politic dialah yang kemungkinan besar akan menjadi winner, implikasi dari sana maka terjadilah kehawatiran besar di para pengurus partai, apalagi mereka yang sudah terlibat dan membangun partai bertahun-tahun, kekisruhan antara pengurus lama yang tidak terpilih dan pendatang baru yang terpilih menyebabkan suasana partai cenderung labil dan tidak kondusif, lebih luasnya lagi nilai dan citra partai sebagai ‘pabrik’ anggota legislatif di masyarakat akan meredup dan kalah dengan citra pribadi ‘baru’ secara personal.
Namun lagi-lagi tahapan pemilu sudah berjalan, segala resiko dengan sistem yang sedang kita anut sekarang mestinya diterima dan dilaksanakan dengan diiringi evaluasi dan antisipasi sehingga apa yang menjadi kehawatiran berbagai pihak terbantahkan atau setidaknya berkurang. Kalaupun perlu dirubah dari terbuka menjadi terutup atau dimodifikasi harusnya dibahas dan dikaji jauh-jauh hari sebelum tahapan pemilu berjalan. Sehingga tidak menimbulkan ‘kegaduhan politik’ seperti sekarang ini.