BERANI TIDAK MENJADI “MPU”

Oleh: Denny Kodrat
Manusia Pada Umumnya (MPU) begitu kira-kira singkatan yang umum digunakan generasi Z. MPU menjadi gambaran stereotip (kebanyakan) manusia yang sering ditemui dalam kehidupan. Manusia lahir, besar, sekolah, lulus, mencari kerja, bekerja, mendapatkan gaji layak, menikah, memiliki keluarga, pensiun, tua, wafat. Siklus hidup ini tentunya lebih tua dari usia kita. Dampak dari siklus ini, manusia melakukan aktivitas yang lazim dilakukan oleh banyak orang.
Dalam kondisi seperti ini, manusia yang tidak MPU, anti mainstream, akan berbeda dengan yang lain. Dalam dunia marketing dan sumber daya manusia, berbeda itu penting. Karena berbeda membuat dirinya atau produknya lebih terlihat (notice) oleh publik. Mengutip kalimat Pandji Pragiwaksono, “berbeda sedikit” lebih baik daripada “sedikit lebih baik”. Setiap orang dapat menjadi “lebih baik” dalam kompetensi, skill, dan dunia kerja, namun untuk “berbeda” diperlukan nyali besar menembus mainstream, selain diperlukan kreativitas untuk mencari perbedaan (distinctive) antara dirinya dengan yang lain.
Membangun Keunikan
Sang Pencipta (Al-Khaliq) sejatinya menciptakan manusia unik. Tidak ada manusia yang identik, sama yang Dia ciptakan. Tidak ada manusia yang memiliki sidik jari sama, meski ia kembar identik. Hal ini saja sudah menjadi bukti bahwa manusia sesungguhnya dihadirkan di dunia membawa keunikan masing-masing. Persoalannya muncul saat setiap manusia menjalani kehidupan dengan menjadikan orang sekitarnya atau yang ia dapat dari media sosial sebagai templatenya. Jika yang diadopsi dan dimodifikasi tidak hanya sisi positif, namun aspek negatifnya dan menjadi kelaziman saat sisi buruk itu ia lakukan.
Saat seseorang mendapatkan jabatan dan kewenangannya, MPU yang menjadi “Pejabat Pada Umumnya” (PPU) menggunakan kewenangannya untuk meraup uang sebesar-besarnya. Memberikan fasilitas istimewa (privilege) kepada kroninya. Dari sini, lazim muncul istilah “orangnya siapa”, “backingan” siapa. Semua orang yang tahu, dipaksa memaklumi. Lazim dan “tahu sama tahu”. PPU ingin selalu didampingi oleh para stafnya, terikat protokoler, meski “kesan” merakyat sesekali ditampilkan, jaga-jaga ada peluang menjadi calon kepala daerah atau calon anggota dewan, namun ia tetap perlu melibatkan banyak orang dalam rombongan kunjungannya, sebagai bentuk parade “hegemoni” sebagai pejabat. Namun saat musim rotasi dan mutasi, ia langsung deg-degan, kasak-kusuk, apakah posisi yang duduki tergeser, atau ia dipindahkan ke “lahan basah”. Jabatan ia jadikan sebagai investasi, bukan pengabdian dan pelayanan. PPU karenanya menekan bawahannya, menjilat atasannya. Lagi-lagi itu dimaklumi dan dianggap lazim.
MPU sebagai “Karyawan Pada Umumnya” (KPU) menjadikan pekerjaan sekadar pemenuhan job description. Ia tidak mau bekerja melampaui apa yang menjadi kewajibannya. Seandainya ia dituntut lebih, money talks. Ia menanyakan berapa kompensasinya. Ia mengikuti pola PPU, jika bisa santai mengapa harus terburu-buru. Jika dapat ribet, mengapa harus dipermudah. Jika bisa mendadak, mengapa harus terencana. Syukur-syukur ia mendapat tambahan penghasilan dari pola kerjanya tersebut. Tentunya, berbicara efisiensi dan produktivitas, cara kerja KPU ini menjadi boros, tidak efektif dan menghamburkan waktu.
Hal di atas sebagai contoh kecil betapa penting untuk tidak menjadi MPU. Suatu saat orang yang tidak menjadi MPU menjabat, ia akan membuat perbedaan dramatis. Betapa tidak, ia dipastikan menggunakan kewenangan jabatannya untuk memudahkan urusan publik. Otomatis Ia tidak memiliki kroni karena ia tidak akan memberikan kekhususan kepada siapapun, bahkan kepada keluarganya. Prosedur yang ditetapkan wajib diikuti oleh seluruh masyarakat, termasuk keluarganya. Sudah barang tentu, ia tidak akan kaku terhadap protokoler, menjadi pemimpin yang melayani (servant leader). Prinsip Khalifah Umar bin Khaththab akan ia gunakan bahwa saat antri makan, ia harus memastikan seluruh pegawainya makan, sebelum ia. Sementara saat mendapatkan tugas, ia harus memastikan beban tugas ia harus jauh lebih berat dibandingkan pegawainya. Dipastikan ungkapan “artos kangge akang, padamelan ku ayi” tidak akan terjadi. Tidak menjadi PPU bukan tanpa resiko. Ia akan dihadapkan dengan pesaing, haters, dan dugaan pencitraan. Namun, sikap istikamah yang akan membuktikan secara waktu bahwa yang dilakukannya benar-benar muncul dari kesadaran otentik (ideologi) bukan dalam rangka politik.
Demikian pula dengan tidak menjadi KPU. Ia bekerja dengan hati. Ketulusan tidak perlu diucapkan namun ditunjukkan. Bekerja tidak untuk uang. Ia meyakini bahwa uang adalah dampak dari hasil kerja yang bagus, profesional dan tulus. Ia tidak iri saat rekan pegawai yang lain, bekerja mudah, seadanya, namun mendapatkan penghasilan yang melampaui ia. Karena ia sadar bahwa manusia memiliki lini masanya sendiri-sendiri.
Manusia agar tidak menjadi MPU dengan default system unik perlu dibangun dengan cara sebagai berikut. Pertama, kenali diri kita sendiri secara mendalam. Dengan mengenali diri, kita sesungguhnya mengenali Sang Pencipta kita, begitu kata Imam Ghazali. Bangun standar etik atau nilai yang menjadikan diri kita tidak menjadi MPU. Saat gratifikasi dianggap lazim, kita tolak sepenuh hati karena bertentangan dengan standar etik diri. Saat orang lain menggunakan cara-cara instan, menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya, kita tidak mengikutinya, karena bertentangan dengan standar nilai yang kita yakini.
Kedua, pahami bahwa setiap manusia memiliki definisi sukses yang berbeda, bergantung standar etik dan nilai yang ia yakini. MPU menjadikan sukses sebagai memiliki harta yang tidak habis 7 (tujuh) turunan, karenanya ia mengejar itu dalam waktu yang sangat terbatas. Barangkali kita dapat pula mendefinisikan sukses secara lebih sederhana dan realistis sesuai dengan standar etik/nilai yang kita yakini, misalnya sukses itu saat tidak menyesali keputusan-keputusan dalam hidup, atau tidak menjadi beban keluarga dan masyarakat, atau bertanggung jawab dengan pekerjaan yang dimiliki sebagai upaya merealisasikan akhir (kematian) yang baik (husnul khatimah). Ia sederhana dan realistis karena muara dari seluruh pencapaian manusia di dunia adalah kematian, tidak ada yang lain.
Ketiga, membangun keunikan hampir sama dengan kreativitas. Ia tidak boleh berorientasi uang atau diberi iming-iming uang. Saat uang menjadi dasar untuk keunikan dan juga kreativitas, saat itu ia tidak akan unik dan menjadi MPU kembali. Mindset terhadap uang sebaiknya diarahkan sebagai dampak dari aktivitas kita yang bermutu. Semakin berkualitas, tidak dapat digantikan sebuah karya kita, uang akan datang dari arah yang tidak diduga. Mindset dan skill set menjadi dua kata kunci penting untuk tidak menjadi MPU. Agar kemampuan kita terasah, tidak ada pilihan kecuali mencintai apa yang kita kerjakan dan mengerjakan apa yang kita cintai baik. Dari sinilah keunikan ditujukan untuk pencapaian hidup.
Kampanye Berpikir
Cukup ironis saat IQ rata-rata penduduk Indonesia berada di 84, atau terpaut empat poin dari Simpanse yang memiliki IQ 80. Hal dasar yang perlu diperbaiki adalah melatih manusia Indonesia untuk berpikir. Institusi pendidikan baik formal, non formal dan informal didorong untuk memberdayakan berpikir besar bagi manusia Indonesia. Jangan cukup sekadar memfasilitasi siswanya untuk mendapat ijazah atau sertifikat tanpa ada proses belajar berpikir.
Pelatihan-pelatihan yang dilakukan kementerian dan pemerintah daerah jangan hanya mengorientasikan pada keterserapan anggaran atau untuk meningkatkan indeks profesionalisme pegawai saja, tanpa diselipi atau ditekankan aspek berpikir besar tadi. MPU yang melegalkan bujukan moral, membolehkan yang tidak boleh, atau melazimkan aktivitas yang menyimpang sebaiknya dipandang sebagai early warning reminder bahwa bangsa ini tidak sedang baik-baik saja. Bila tidak segera dilakukan langkah mitigasi, jangan-jangan novel Ghost Fleet yang sempat dijadikan oleh Presiden terpilih Prabowo mengenai kehancuran bangsa Indonesia benar adanya.
Lembaga pendidikan menjadi benteng utama yang menginisiasi belajar berpikir besar ini, mengokohkan implementasi nilai-nilai etis di masyarakat, menjadi corong pengingat bila praktik penyimpangan dianggap wajar. Jika lembaga pendidikan seperti sekolah dan perguruan tinggi larut dalam kepentingan politik, lembaga mana lagi yang bisa diharapkan untuk mengajak publik berpikir dan semua kita akan menjadi MPU pada waktunya. Wallahu’alam bishshawwab.
——–
Denny Kodrat, Pengajar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sebelas April dan China-ASEAN Technical Education Cooperation.